-->

Pendidikan Politik Ketika Ulama Terkooptasi dalam Pilpres


Ahir-ahir ini, seturut dengan telah ditetapkannya pasangan calon presiden dan wakil presiden dan nomor urut paslon oleh Komisi Pemilihan Umum, diskursus publik akan terma “ulama” kian mengental. 

Kita ketehaui bersama disatu pihak calon wakil presidennya seorang ulama yang menduduki jabatan Ketua Majlis Ulama Indonesia dan Rois Aam Syuriah PBNU, semenetara di kubu lainnya, meski calon pasangannya bukan ulama tapi berlatar belakang professional bisnis (belakangan, konon ada yang mengasih label ulama), namun didukung Ijtima Ulama jilid satu dan dua. Kosekuensinya kemudian terang benderang umat terbelah menjadi dua dan ini rawan berpotensi terjadinya perpecahan. Oleh karena itu, kekhawatiran ini cukup cerdas diadress oleh seorang Din Syamsudin, mantan Ketua Umum Muhamadiyah, untuk mundur dari tugas sebagai delegasi umat wakil pemerintah. 

Memang fenomena sebagaimana dinarasikan di atas merupakan fenomana yang terjadi menjelang pemilu presiden dan wakil presiden, atau fenomena lima tahunan. Hal ini bisa dimaklumi oleh karena suara umat Islam adalah suara mayoritas. Jadi siapapun yang bisa menguasai arus besar suara umat Islam sudah bisa dipastikan akan memenangkan kontestasi. 

Kembali pada diskursus ulama yang kini ulama berperan dan terlibat dalam politik praktis maka sudah barang tentu cara pandangnya akan menjadi pragmatis dan melihat persoalan keumatan sebagai objek untuk memeroleh dukungan suara. Padahal sejatinya ulama adalah, seperti menurut KH. Umar Sanusi, jabatan sacral. “Kesakralannya terletak pada kedalaman ilmunya serta ketinggian akhlaknya. Ulama yang sering melakukan riyadloh, puasa, dzikrullah, qiyamul lail, serta ibadah-ibadah sunah lainnya mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat. Mereka didatangi untuk dimintai doa, karena doanya dianggap mustajab. Bahakan ulama seperti itu dianggap wali Allah. Menjauhkan diri dari kenikmatan dunia, mengutamakan kehidupan akhirat. Masyarakatpun rela diarahkan oleh ulama seperti itu. apa kata ulama pasti dianut oleh masyarakat” kata pak Kiai kepada media baru-baru ini. 

Dengan mengikuti logika kontestasi seperti pada umumnya terjadi, mesalnya menegasikan dan menihilkan pihak lain, dan pendapat KH. Umar Sanusi, kiranya sulit berkharap akan terkondisinya situasi menyejukkan dari ulama yang ikut kedalam gerbong yang sedang berkontestasi. Kemudia pilihannya adalah ada pada para ulama yang mengambil sikap netral yang bisa memberikan pencerahan dan pendidikan politik kepada umat. 

Suara ulama pasti oleh umat dinanti, didengar dan boleh jadi diikuti. Ketaatan pada ulama adalah merupakan ketaatan yang sulit untuk dinafikan karena dari sudut pandang agama ulama adalah pewaris para nabi, “Al ulamau warasatul anbiyai”. Dari merekalah kita berharap banyak pada situasi panas ini tampil ceramah, tabligh, dan pidato-pidato yang menyejukkan; berharap mereka mengajak umat untuk tidak golput, tidak menebar pemberitaan hoax, dan tidak terjebak dalam kempayne-kampanye SARA. Semoga negri ini terhindar dari perpecahan dan peran ulama tetap konsisten memberdayakan umat dalam koridor idiologi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Ahirnya, semua pihak diharapkan dapat menaati Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dan dalam konteks kampanye mencermati pasal 280 ayat 1.

0 Response to "Pendidikan Politik Ketika Ulama Terkooptasi dalam Pilpres"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel