-->

Edukasi Publik di Era Post-truth


Begitu mudah, akhir-akhir ini, politisi kita memeroduksi dan memilih diksi yang kurang etis dalam menyatakan kritik dan merespon statement dari lawan politiknya. Sekedar contoh diksi tentang “ politisi sontoloyo”, “politisi genderewo”, tampang Boyolali” adalah diksi yang dipilih secara entah sadar atau tidak kemudian berkembang menjadi diskursus publik. 

Kalau saja hal itu disampaikan bukan pada tahun kontestasi politik mungkin tidak terjadi segaduh seperti sekarang ini. Ini bisa ramai jadi pembicaraan masyarakat luas karena elit memanfaatkan hal tersebut untuk mendistorsi kreadibilitas lawan politiknya dengan harapan naiknya marjin elektabilitas calon dan pasangan calan yang diusungnya dalam panggung kontestasi politik. 


Era Post-truth 

Dengan apa yang terjadi saat ini dalam jagat politik nasional meskikah ada yang harus dihawatirkan dampaknya terhadap kohesivitas sosial atau terancamnya disintegrasi bangsa? Kita melihat paling tidak dalam fakta emfirisnya tren kearah sana tidak ada, kecuali di ranah sosial media, memang terjadi saling menista, saling menafikan dan saling seterusnya. Mari kita yakini saja hal ini sesuatu yang lumrah dalam politik dimana para elit sedang bersaing; dan, seturut dengan selesainya persaingan semuanya akan kembali kedalam situasi dan kondisi normal. 

Memang di era post-truth saat ini seolah elit mendapatkan panggung untuk mencari pembenaran pada suatu isu-isu tertentu dengan tujuan mendapat dukungan publik. Data dan fakta bisa dimanipulatif, direkayasa sesuai kepentingan. Naasnya, pada masyarakat yang secara kultur miskin akan literasi sikap manipulatif sulit untuk ditelanjangi kedustaannya. 

Siapa yang pertama kali memolerkan istilah atau jargon post-truth dalam dimensi politik adalah sulit untuk menemukannya. Tidak akan pernah ditemukan. Namun demikian, adalah Leo Strauss, Ahli teori politik, mengembangkan konsep yang pertama kali digariskan oleh Plato, menciptakan istilah "kebohongan mulia" untuk merujuk pada sebuah ketidakbenaran yang disebarkan oleh elit untuk menjaga kerukunan sosial atau memajukan sebuah agenda. 

Akhirnya, silahkan para pembaca untuk menelisik apakah kebohongan demi kebohongan yang dihasilkan oleh elit kita dapat memastikan kerukunan sosial akan terjaga secara tertib dan sejauh mana sebuah agenda negara bisa tetap dalam spektrum berkembang dan berkemajuan? Sudah saatnya masyarakat diberikan edukasi politik beradab dan bermartabat. Kita percaya masih banyak elit di republik ini yang berhati bersih dan bernalar jernih serta alergi dengan cara-cara Machiavellianisme - keyakinan Machiavelli bahwa semua pemimpin mungkin, pada titik tertentu, perlu berbohong. 

Bagaimana mendorong masyarakat agar bisa kian cerdas dalam menghadapi riuh-rendahnya kebohongan akan penulis ulas dikesempatan selanjutnya. 

Wallahu ‘alam bissawab!

0 Response to "Edukasi Publik di Era Post-truth"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel