-->

Mahasiswa Khawatir, Mahasiswa Menggugat Rezim

Lovis Coninth, Cain, 1917
Mahasiswa merupakan salah satu elemen kritis yang tidak memiliki agenda politik partisan, namun (ironinya) aksinya sering dituding ditunggangi oleh kekuatan politik tertentu. Mahasiswa sejak zaman azalinya adalah senantiasa beraksi di garda depan perubahan manakala sistem sosiopolitik berjalan di luar sistem yang mengakibatkan rakyat menderita. Maka sebagai konsekuensinya mereka kemudian digelari atau disebut-sebut sebagai agent of changes (agen perubahan). Dan memang faktanya, jika mahasiswa sudah turun ke jalan, menunjukkan aksinya secara terstruktur, sistematis, dan masif, maka sekuat apapun rezim berkuasa seringkali terjadi bisa dilengserkan. 

Mahasiswa adalah makhluk idealis yang selalu mengkhawatirkan kondisi yang menimpa ibu pertiwinya, baik kini maupun di masa depannya yang secara sengaja dikoyak oleh rezim otoriter dengan segala sumber daya yang dimilikinya. Yang dimaksud rezim disini, sebagaimana didefinisikan oleh Wikipedia, adalah serangkaian peraturan, baik formal (misalnya, Konstitusi) dan informal (hukum adat, norma-norma budaya atau sosial, dll) yang mengatur pelaksanaan suatu pemerintahan dan interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat. 

Maka aksi mahasiswa yang berkembang belakangan ini adalah serangkaian aksi yang menuntut agar rezim hukum yang sudah disyahkan (UU KPK) dan masih berupa rancangan, sperti RUU KUHP, RUU SDA, RUU Pertanahan, dan RUU Pemasyarakatan untuk dibatalkan. 



Sejarah Kekhawatiran Manusia 

Artikel ini tidak dalam kapasitas menilai secara teknis tentang pasal-pasal yang dipandang oleh mahasiswa berpotensi merugikan masyarakat (baca: rakyat), melainkan, secara umum, tulisan ini akan sedikit mnyoal dari mana asal usul atau ikhwal kekhawatiran itu lahir. Persisnya, kapan kekhawatiran merasuki umat manusia? 

Adalah Yuval Noah Harari, sejarawan dunia asal Haifa, Israel, bergelar Ph.D. dari Universitas Oxford (2002), yang menyatakan bahwa kekhawatiran manusia berlangsung sejak lama yakni berakar dari Revolusi pertanian. Dalam Revolusi pertanian menjadikan masa depan jauh lebih penting dari masa sebelumnya. Para petani harus selalu mengingat masa depan dan harus bekerja demi masa depan yang baik. Ekonomi pertanian didasari siklus musiman produksi, terdiri atas bulan-bulan panjang bercocok -tanam diikuti oleh periode puncak panes yang singkat. 

Siklus musiman produksi dan ketidakpastian mendasar dunia pertanian awal menimbulkan kekhawatiran mengenai masa depan mereka. Karena kebanyakan desa hidup dengan bercocok-tanam jenis tumbuhan dan hewan hasil domestikasi yang sangat terbatas, maka penduduknya rentan terhadap kekeringan, banjir, dan wabah penyakit. Kaum tani harus menghasilkan lebih daripada yang mereka konsunsi supaya bisa mempunyai cadangan. 

Sebagai akibatnya, sejak pertama kali pertanian muncul, kekhawatiran mengenai masa depan menjadi pemain utama dalam teater akalbudi manusia. di tempat-tempat petani bergantung kepada hujan untuk mengairi sawah lading, kedatangan musim hujan berarti setiap pagi para petani menerawang kea rah cakrawala, mengendus angina dan menyipitkan mata. Apakah itu awan? Akankan hujan tiba tepat waktunya? Cukupkah hujan yang turun nanti? Akankah hujan badai hebat menghanyutkan bebijian di lading dan menghancurkan semaian? 

Kaum tani mengkhawatirkan masa depan bukan hanya karena mereka punya lebih banyak alasan untuk merasa khawatir, namun juga karena mereka bisa melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Dan menyoal kekhawatiran mahasiswa akan masa depan rakyat, termasuk dirinya sendiri, akibat produk legislasi dari DPR yang diamini pemerintah dapat membahayakan daya survivenya masyarakat, apakah sebatas rasa khawatir saja namun juga punya cukup cara untuk mengatasinya? Dan memang tidak banyak yang bisa dilakukan oleh mahaiswa kecuali melalui dua hal, yakni melakukan kritik dengan cara-cara natural dan melakukan unjuk rasa turun ke jalan.

0 Response to "Mahasiswa Khawatir, Mahasiswa Menggugat Rezim "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel